HADITS/SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA
PENDAHULUAN
Secara
bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan dalam
tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan
Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir). Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh,
membatasi pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang
berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir
yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan ”Sunnah”.
Beranjak
dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan
Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber
hukum primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal
atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, atau Al-Qur’an
membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali
dalam Al-Qur’an. Nah jalan keuar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan
Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan Al-Hadits/As-Sunnah. Di sinilah peran dan
kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan
menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
Sekarang
timbulah setidaknya ada dua persoalan yang mendasar, yaitu;
Pertama, dapatkah
Sunnah berdiri sendiri dalam menentukan hukum yang tidak ditetapkan dalam
Al-Qur’an?; Kedua, apakah
semua perbuatan Nabi Muhammad dapat berfungsi sebagai sumber hukum yang harus
diikuti oleh setiap umat islam?.
Makalah
yang kecil lagi tipis ini, berusaha menjelaskan sekelumit tentang kedua perkara
di atas, dan juga menjelaskan adanya keterkaitan antara Al-Hadits/As-Sunnah
dengan Al-Qur’an.
SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM
A. DASAR
ALASAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman
hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah
beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam.
Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan
saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri
telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai
sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:
1. Setiap
Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al-
Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2. Patuh
kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran:
31)
3. Orang
yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5,
An-Nisa: 115).
4. Berhukum
terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada
hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk
memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan
secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai
sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka
kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti
tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya.
Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global
dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah.
Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan
ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif)
dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan
apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan
rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat
subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
B. HUBUNGAN
AL-HADITS/AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR’AN
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka
As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir,
pensyarah, dan penjelas daripada
ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan
dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
1.
Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan
musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu
sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat
Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah”
(Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah
dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” (
Dan sempurnakanlah hajimu ).
1.
Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat
pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru
liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena
melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
1.
Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an,
seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak
mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah
dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat
at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan
orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya
dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada
waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan
perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan
hadits tersebut.
C. DAPATKAH
AS-SUNNAH BERDIRI SENDIRI DALAM MENENTUKAN HUKUM
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan
Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan
tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas
suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun
demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang
menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa
dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang
menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang
menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah,
sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran),
ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa
yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit,
apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad
Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan
penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber
dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul
pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’)
adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang
keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan
Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”
(An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada
penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an
sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai
perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi
kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya
hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena
menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena
sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang
berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an
yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang
adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an
pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya
masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat
sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan
global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak
yang pertama.
D. APAKAH
SEMUA PERBUATAN NABI MUHAMMAD SAW DAPAT BERFUNGSI SEBAGAI SUMBER HUKUM, YANG
HARUS DIIKUTI OLEH SETIAP MUSLIM?
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai
panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi
sebagai suri tauladan dalam hidupnya.
Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua
perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para
prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam
kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap
ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh
dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang
wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang
haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita
telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:
1. Boleh
bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah
SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram
hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:
® Berpuasa Wishal
Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib,
hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW
berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram
bila melakukannya.
® Boleh beristri lebih dari
empat wanita
Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4
isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah
SAW seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya.
2. Yang
wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya
Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya
wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
® Shalat Dhuha’
Shalat dhuha’ yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi
hukumnya wajib.
® Qiyamullail
Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat
fajar. Hukumnya Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.
® Bersiwak
Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak,
padahal bagi umatnya hukumnya hanya Sunnah saja.
® Bermusyawarah
Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya
® Menyembelih kurban
(udhhiyah)
Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
3. Yang
haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
® Menerima harta zakat
Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima
harta zakat. Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul
bait).
® Makan makanan yang berbau
Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya haram
bagi beliau, seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak
mau datangnya malakat kepadanya untuk membawa wahyu.
Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal, setidaknya hukumnya
makruh. Maka
jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila
dimakan oleh umat Muhammad SAW.
® Haram menikahi wanita
ahlulkitab
Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang
muslim. Kalau isteri Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin
bisa terjadi.
Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli kitab,
sebagaimana telah dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah
ayat 3.
Selain hal-hal yang diuraikan di atas,
perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum kerasulan bukan merupakan sumber
hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah dicatat bahwa perbuatan
dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga beliau mendapatkan gelar Al-Amin. Akan tetapi kehiupannya
waktu itu bisa dijadikan sebagai suatu contoh yang sangat baik bagi kehidupan
setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita mengambil contoh atas
perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam sekalipun.
Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath
hukum para ulama dengan cara memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam
Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar