1. Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakup
maknanya saja. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah
tersebut, bahwa dia membolehkan shalat dengan bahasa menggunakan selain arab,
misalnya: Dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan madharat.
2. Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang
lafadz dan maknanya berasal dari Allah SWT . ia bukan makhluk, Karena kalam
Allah termasuk Sifat Allah. Imam Malik juga sangat menentang orang orang yang
menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau
berkata, “ seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang
menafsirkan Al-Qur’an ( dengan daya nalar murni) maka akan kupenggal leher
orang itu,”. Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf
(Sahabat dan Tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin
karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT.
3. Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber
islam yang paling pokok, dan beranggapan bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan
dari As-Sunnah karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali. Sehingga
seakan akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan
berarti Imam Syafi’i menyamakan derajat Al-Qur’an dan Sunnah, namun kedudukan
As-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an yang keduanya berasal dari
Allah SWT.
Dengan demikian tak heran bila Imam syafi’I dalam berbagai
pendapatnya sangat mementingkan penggunaan Bahasa Arab, misalkan dalam Shalat,
Nikah dan ibadah ibadah lainnya. Beliau mengharuskan peguasaan bahasa arab bagi
mereka yang mau memahami dan mengistinbat hukum dari Al-Qur’an , pendapat Imam
Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa bolehnya
shalat dengan menggunakan bahasa selain arab. Misalnya dengan bahasa persi
walaupun tidak dalam, keadaan Madharat.
4. Pandangan Imam Ibnu Hambal
Imam Ibnu Hambal berpendapat bahwa Al-Qur’an itu sebagai
sumber pokok hukum islam, kemudian disusun oleh As-Sunnah. Namun seperti halnya
Imam As-Syafi’I, Imam Ahmad yang memandang bahwa sunnah mempunyai kedudukan
yang kuat disamping Al-Qur’an sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa
sumber hukum itu adalah nash tanpa menyebutkan Al-Qur’an dahulu atau As-Sunnah
dahulu tapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam
penafsian terhadap Al-Quran Imam Ahmad betul betul mementingkan penafsiran yang
datangnnya dari As-Sunnah (Rosulullah SAW)
(Dikutip dari kitab “Ilmu ushul Fiqh” Prof. DR. Rachmat
Syafe’i. MA.)
B. PENJELASAN AL-QUR’AN TERHADAP HUKUM DAN ALQUR’AN SEBAGAI
SUMBER HUKUM
1.Ayat-ayat yang menjelaskan hukum diantaranya:
Uraian al-Qur’an tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam
surat al-Baqarah: 183, 184, 185 dan 187. Ini berarti bahwa puasa ramadhan baru
diwajibkan setelah Nabi SAW tiba di Madinah, karena ulama Al-Qur’an sepakat
bahwa Surat al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa
kewajiban melaksanakan puasa ramadhan ditetapkan Allah SWT pada 10 Sya’ban
tahun kedua Hijriyah.
Allah swt berfirman:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).
Ayat ini yang menjadi dasar hukum diwajibkannya berpuasa
bagi orang-orang yang beriman.
2. Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan
shalat:
1. firman Allah SWT
Artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa’:103).
Artinya: sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan
(yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat
Aku. (QS. Thahaa: 14).
Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu
Al-kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah
dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah
(shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Ankabut: 45).
(Dikutip dari “Kehujjahan Al-Qur’an” STAI Bani Saleh 2009)
D. SISTEMATIKA HUKUM DALAM AL-QUR’AN
Sebagai sumber hukum yang utama, maka Al-Qur’an memuat
sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang. Secara garis besar Al-Qur’an
memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:
Pertama, hukum-hukum I’tiqadiyah. Yakni hukum-hukum yang
berkaitan dengan kewajiban orang mukallaf, meliputi keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat,
Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari Qiyamat dan ketetapan Allah (qadha dan qadar).
Kedua, hukum-hukum Moral/ akhlaq. Yaitu hukum-hukum yang
berhubungan dengan prilaku orang mukallaf guna menghiasi dirinya dengan
sifat-sifat keutamaan/ fadail al a’mal dan menjauhkan diri dari segala sifat
tercela yang menyebabkan kehinaan.
Ketiga, hukum-hukum Amaliyah, yakni segala aturan hukum yang
berkaitan dengan segala perbuatan, perjanjian dan muamalah sesama manusia. Segi
hukum inilah yang lazimnya disebut dengan fiqh al-Qur’an dan itulah yang
dicapai dan dikembangkan oleh ilmu ushul al-Fiqh.
Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash al-Qur’an, garis besarnya
terbagi kepada tiga bagian, yakni:
1. Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan
dengan akidah dan kepercayaan
2. Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan
dengan tingkah laku, budi pekerti.
3. Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan
dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf, baik mengenai ibadat atau adat,
mu’amalah madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy syakhshiyah, jinayat dan uqubat,
dusturiyah dan dauliyah, jihad dan lain sebagainya.
Yang pertama menjadi dasar agama, yang kedua menjadi
penyempurna bagian yang pertama, amaliyah yang kadang-kadang disebut juga
syari’at adalah bagian hukum-hukum yang diperbincangkan dan menjadi objek
fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut hukum Islam.
(Dikutip dari, “ilmu ushul fiqh”. Prof.Dr.Abdul Wahhab
Khalaf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar