Ijtihad
adalah sumber ajaran Islam setelah Al-Quran dan Hadits. Ijtihad berasal
dari kata ijtahada,
artinya mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha keras, bekerja semaksimal
mungkin. Secara terminologis, Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan
pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam
Al-Quran dan As-Sunnah. Pelakunya disebutMujtahid.
Ada
sejumlah metode dalam pelaksanaan Ijtihad, yakni Qiyas, Mashalih Mursalah, Istinbath,
Ijma’, dan Istihsan[3].
A.
Qiyas
Qiyas
artinya mengukur atau mempersamakan, yakni memperbandingkan atau mempersamakan
hukum suatu perkara dengan perkara lain berdasarkan persamaan ‘illah (sebab
yang mendasari ketetapan hukum).
Misalnya,
arak (khamr) diharamkan karena memabukkan (Q.S. 2:219) dan riba
diharamkan karena mengandung unsur penganiayaan (Q.S. 2:275).
Maka,
secara Qiyas, benda dan hal lain pun jika ternyata memabukkan atau mengandung
unsur penganiayaan menjadi haram juga. Kaidah Ushul Fiqih menyatakan, “Hukum
itu berputar menurut ‘illah-nya”.
B.
Mashalih Mursalah.
Mashalih
Mursalah adalah melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum, tidak
dianjurkan Quran dan Sunnah, tetapi sangat diperlukan untuk memelihara
kelestarian dan keselamatan agama, akal, harta, diri, dan keturunan. Misalnya,
membukukan dan mencetak Al-Quran dan Al-Hadits; menggaji muadzin, imam, khotib,
dan guru agama, serta mengadakan perayaan peringatan Hari-Hari Besar Islam.
C. Istinbath
Istinbath
yaitu menghukumi suatu perkara setelah mempertimbangkan permasalahannya.
Misalnya soal riba (pembayaran berlebih atas utang atau pinjaman yang
disyaratkan pemberi pinjaman). Bunga pinjaman bank secara istinbath dibolehkan
karena pinjaman yang diberikan bersifar pinjaman-produktif.
Tidak
ada illat penganiayaan dalam bunga pinjaman itu karena pinjaman yang
diberikan adalah bukan pinjaman-konsumtif,
tetapi untuk modal usaha atau memperbesar modal perusahaan yang telah berjalan.
Kalau pinjaman itu konsumtif, yakni untuk mencukupi kebutuhan hidup
sehari-hari, maka haram hukumnya bunga yang ada dalam pinjaman itu.
Namun
demikian, ada pula pendapat yang tetap mengharamkan bunga pinjaman-produktif
karena tetap mengandung unsur penganiayaan --bank tidak mau tahu apakah usaha
seseorang itu untung atau rugi.
D.
Istihsan
Istihsan
adalah penetapan hukum dengan penyimpangan dari hukum umum kepada hukum khusus
untuk mencapai kemanfaatan. Misalnya, menanami tanah wakaf yang diwakafkan
untuk pendirian masjid sambil menunggu biaya pembangunan. Hasilnya dijual dan
disediakan untuk biaya pembangunan masjid.
Contoh
lain adalah lupa makan dan minum selagi berpuasa. Hadits menyebutkan, orang
yang berbuat demikian dianjurkan meneruskan puasanya, tanpa penjelasan
batal-tidaknya puasa orang tersebut.
Namun
orang yang berwudhu lalu lupa atau tanpa sengaja mengeluarkan angin, ditetapkan
batal wudhunya.
E.
Ijma’
Ijma’
adalah kesepakatan para ulama tentang suatu perkara, meliputi:
· Ijma’ Qauli, yaitu para ulama berijtihad
bersama-sama atau sendiri-sendiri tentang suatu masalah lalu memutuskan hukum
yang sama.
· Ijma’ ‘Amali, yaitu kesepakatan yang tidak
diucapkan namun tercermin dalam kesamaan sikap dan pengamalan.
· Ijma’ Sukuti, yakni “menyetujui dengan cara
mendiamkan”. Ulama tertentu mengetapkan hukum atas suatu perkara dan ulama lain
tidak membantahnya. Wallahu a'lam.
. Dasar Hukum Ijtihad
Para fuqoha boleh melakukan Ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Berdasarkan ayat dan hadits tersebut, maka ulama membagi hukum ijtihad dalam tiga macam sebagai berikut :
a. Wajib ‘Ain , bagi seseorang yang ditanya tentang satu peristiwa yang hilang sebelum diketahui hukumnya. Begitu pula apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b. Wajib Kifayah, bagi seseorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan akan hilang sementara mujtahid lain selain dirinya.
c. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi baik ditanyakan atau tidak .
Dr. Muhammad Madkur di dalam kitabnya Manahiju al-Ijtihad Fi Al-Islam menjelaskan bahwa ijtihad dan berijtihad hukumnya adalah wajib bagi yang telah mengetahui keahlian dan memenuhi syarat-syarat ijtihad.
C. Kedudukan dan fungsi Ijtihad
Kedudukan ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al – Qur’an dan As-Sunah. Berijtihad itu sangat berguna sekali untuk mendapatkan hukum syara’ yang dalilnya tidak terdapat dalam Al – Qur’an maupun hadits dengan tegas.
Ditinjau dari fungsi ijtihad, ijtihad itu perlu dilaksanakan :
a. Pada suatu peristiwa yang waktunya terbatas, sedangkan hukum syara’ yang mengenai peristiwa sangat diperlukan, dan juga tidak segera ditentukan hukumnya, maka dikhawatirkan kesempatan menentukan hukum itu akan hilang .
b. Pada suatu peristiwa diperlukan hukum syara’ di suatu daerah yang terdapat banyak para ahli ijtihad, sedang waktu peristiwa itu tidak mendesak maka hal yang semacam itu perlu adanya ijtihad, karena dikhawatirkan akan terlepas dari waktu yang ditentukan.
c. Terhadap masalah-masalah yang belum terjadi yang akan kemungkinan nanti akan diminta tentang hukum masalah-masalah tersebut, maka untuk ini diperlukan ijtihad.
D. Macam-macam Ijtihad
Secara garis besar ijtihad dibagi kedalam dua bagian, yaitu ijtihad Fardhi dan Jami’i.
a. Ijtihad fardhi adalah : ”Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang, namun tidak ada keterangan bahwa semua mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara ( Tasyri’ Islami: 115)
Ijtihad yang semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh Rasul kepada Mu’adz ketika Rasul mengutus beliau untuk menjadi qodhi di Yaman.
a. Ijtihad Jami’i adalah : ”Semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin.” ( Ushulu Tasyri’ :116 )
Ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh hadits Ali bin Abi Thalib pada waktu beliau menanyakan kepada Rasul tentang suatu urusan yang menimpa masyarakat yang tidak diketemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ketika itu Nabi bersabda : ”Kumpulkanlah orang-orang yang berilmu dari orang-orang mukmin untuk memecahkan masalah itu dan jadikanlah hal itu masalah yang dimusyawarahkan diantara kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang seorang.” ( H.R. Ibnu Abdil Barr )
Disamping itu, Umar bin Khatab juga pernah berkata kepada Syuraikh : ”Dan bermusyawarahlah ( bertukar pikiran ) dengan orang-orang yang saleh.”
E. Syarat – syarat Mujtahid
a. Mengetahui isi Al-Qur’an dan hadits yang bersangkutan denagn hokum itu, meskipun tidak hapal diluar kepala.
b. Mesti mengetahui bahasa arab dengan alat-alat yang berhubungan dengan itu seperti Nahwu, Shorof, Ma’ani, Bayan, Bad’i, agar dengan ini mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an atau As-Sunnah dengan cara berfikir dengan benar.
c. Mesti mengetahui ilmu usul fiqh dan qoidah-qoidah fiqh yang seluas-luasnya, karena ilmu sebagai dasar berijtihad.
d. Mesti mengetahui soal-soal ijma’, hingga tiada timbul pendapat yang bertentangan dengan ijma’ itu.
e. Mesti mengetahui nasikh mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
f. Mengetahui ilmu riwayat dan dapat membedakan: mana hadits yang sahih dan hasan, mana yang dhoif, mana yang maqbul dan mardud.
g. Mengetahui rahasia-rahasia tasyri’i ( asrarusy syari’ah) yaitu qoidah-qoidah yang menerangkan tujuan syara’ dalam meletakan beban taklif kepada mukallaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar